NTT Peringkat Ke 6 Provinsi Terkorup di Indonesia


Alfons Loemau

sergapntt.com [KUPANG] – Kaukus Advokat untuk Keadilan dan Penegakan Hukum (KAKPH), yang diprakarsai para Advokat asal NTT di Jakarta, menyampaikan beberapa catatan Hukum diakhir tahun 2011 tentang praktek penegakkan hukum yang dilakukan para penyelenggara Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Melalui email sergapntt.com,  KAKPH yang pimpin, Alfons Loemau, Msi. MBus (Ketua), dan M.M. Ardy Mbalembout, SH (Sekretaris Jenderal) menyampaikan keprihatinan mereka atas kondisi penegakan hukum di NTT, khususnya pemberantasan korupsi yang cendrung meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Namun, dalam banyak kasus, pelaksanaannya justru tidak menyentuh para aktor utama yang telah menyebabkan kerugian Negara dalam jumlah yang sangat besar. Data yang dikeluarkan oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON) NTT-NTB bahwa NTT menempati peringkat keenam provinsi terkorup di Indonesia (KON NTT-NTB, 2010).
Berdasarkan informasi yang diperoleh KAKPH, hampir di sebagian besar kabupaten/kota di NTT, para pejabat daerah melakukan penyalahgunaan wewenang berupa tindak pidana korupsi, antara lain Korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos) untuk tujuan-tujuan lain di luar kegiatan sosial dan kemanusiaan atau melakukan praktek mark up harga dll.
Padahal bentuk kejahatan penyalahgunaan wewenang tersebut meskipun telah dilaporkan oleh masyarakat disertai dengan bukti-bukti hukum yang kuat, namun proses hukumnya tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat dan program pemerintah di bidang pemberantasan korupsi.
Kondisi ini disebabkan adanya potensi penyalahgunaan wewenang Lembaga MUSPIDA (MUSYAWARAH PIMPINAN DAERAH) yang terdiri dari  Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri,Kepala Kejaksaan Tinggi, Kapolres, Kapolda, Ketua DPRD Kabupaten/kota, Ketua DPRD Provinsi dan Bupati, Gubernur di Provinsi NTTberada dalam satu ikatan kolaborasi dengan menerima honorarium dari PEMDA pada setiap bulan untuk setiap ANGGOTA MUSPIDA, baik dalam jumlah yang resmi maupun tidak resmi, sehingga sejumlah Pimpinan Penegak Hukum justru terjebak dalam hubungan kolaborasi yang sempit berupa KKN yang sangat mengancam kemandirian dan profesionalisme aparat penegak hukum di Daerah. 
KKN melalui forum MUSPIDA adalah warisan rezim pemerintahan terdahulu yang harus segera diberangus, oleh karena melalui Lembaga MUSPIDA inilah perselingkuhan antara Pimpinan Daerah dengan Pimpinan Instansi Penegak Hukum di Daerah terjadi dan saling menyandera secara berlanjut. Dalam beberapa kasus di NTT terdapat indikasi bahkan fakta dimana banyak kasus ditimbun bahkan diwariskan oleh Kajari/Kajati ke Kajari/Kajati berikutnya atau Kapolres/Kapolda ke Kapolres/Kapolda berikutnya, sementara berkas perkara dan Tersangkanya tetap bertahan di Kejaksaan/Kepolisian tanpa ada kejelasan kapan ditingkatkan ke penuntutan di Pengadilan.  
Para Advokat dalam KAKPH, menemukan fakta  bahwa kolaborasi Pimpinan Penegak Hukum dengan Gubernur/Bupati/Ketua DPRD Kabupaten/Ketua DPRD PROVINSI di NTT dalam MUSPIDA menjadi sebab utama untuk mereka saling menyandera, saling membarter kepentingan dan saling melindungi, sehingga tidak jarang kita jumpai hampir tidak ada satupun pucuk pimpinan daerah (Bupati/Walikota/Gubernur menjadi Tersangka Korupsi atau menjadi Tersangka Korupsi akan tetapi berkas perkaranya tidak pernah dilimpahkan ke penuntutan atau di SP3 atau dilimpahkan ke penuntutan tetapi berakhir dengan putusan bebas bagi sang pejabat (Bupati/Gubernur). Mereka dengan sengaja membiarkan sebuah kasus perkara tidak diselesaikan secara hukum selama bertahun-tahun, bahkan ada oknum yang dijadikan tersangka abadi, sekaligus sapi perahan.
Fenomena dimana seorang  pejabat publik di NTT bisa menyandang status tersangka selama bertahun-tahun secara berkepanjangan bahkan bisa serta merta berubah dari status tersangka menjadi SP3 sudah menjadi fakta sosial bahwa banyak pejabat publik di NTT meskipun telah diberi status tersangka, akan tetapi berkas perkara berikut tersangkanya tidak kunjungdilimpahkan ke penuntutan, padahal penyidik dan Jaksa Penuntut Umumnya sudah sering berganti karena mutasi dan pindah tugas ketempat lain malahan pejabat yang berstatus tersangka (katakanlah Bupati) sampai habis masa jabatan Bupati dan ikut calon Pilkada dan terpilih kembali, berkas perkaranya tidak kunjung mengalami peningkatan dari penyidikan ke penuntutan, sehingga munculah ucapan-ucapan sinis ditengah masyarakat bahwa status para tersangka berulang tahun bahkan menjadi  abadi untukdijadikan sapi perahan atau ATM oleh pimpinan penegak hukum dari satu pimpinan sebelumnya ke pimpinan penegak hukum berikutnya.
Fakta sosial bahwa Pimpinan Pemda dan Pejabat Penegak Hukum setempat sering saling menyandera karena berbagaialasan teknis. Kondisi geografis NTT yang berbentuk pulau selain  sering dikategorikan sebagai tempat buangan bagi pejabat penyelenggara Negara (Hakim, Jaksa Polisi) yang bertabiat tidak baik di pusat kekuasaan (Jawa dan Sumatera), juga karena jarak yang jauh dengan lembaga kontrol yang ada di pusat termasuk pers/media massa turut punya andil dalam membentuk perilaku pejabat daerah dan pimpinan penegak hukum yang bertugas di NTT sebagai bagian dari pelaksanaan sanksi Administratif akibat melakukan perbuatan tercela ditempat tugas lain sebelumnya, telah menimbulkan dampak sosial negatif yang luar biasa besar bagi penegakan hukum di NTT, terutama NTT bukan saja menjadi daerah termiskin akan tetapi juga dengan predikat Provinsi terkorup di Indonesia.
KAKPH sangat prihatin dengan stigma yang selama ini dikenakan kepada para pejabat yang ditugaskan di daerah NTT, sebagai pejabat buangan yaitu terdiri dari ex polisi, jaksa dan hakim yang bermasalah di wilayah lain khususnya Jawa dan Sumatera. Oleh karena itu, Kaukus Advokat NTT untuk Keadilan menuntut kepada pemerintah pusat, departemen terkait, Kejaksaan Agung RI, POLRI, dan Mahkamah Agung RI untuk melakukan langkah-langkah sbb. :
Tidak lagi menjadikan daerah NTT sebagai daerah buangan pejabat bermasalah atau pejabat yang sering melakukan perbuatan tercela untuk menjalani masa kontemplasi sanksi hukuman jabatan/administratif dengan memindahkan bertugas di daerah yang minus segala-galanya, sehingga pejabat yang bersangkutan bukan saja menerima penempatan itu sebagai bagian dari tugas pengabdian untuk memperbaiki diri akan tetapi sebaliknya NTT dijadikan lahan basah untuk menjalankan praktek KKN baru dengan pejabat setempat yang juga sedang membangun jaringan kesetiakawanan sosial berjamaah melakukan perbuatan menghalalkan berbagai cara.
Mendesak Pemerintah Pusat untuk tidak lagi mendiskriminasikan NTT dan selanjutnya menempatkan NTT sebagai daerah yang harus dibangun di atas semangat para pejabat/penyelenggara Negara dengan kualitas dan karakter mengabdi dan membangun NTT sebagai tanah air yang satu yaitu tanah air Indonesia, terutama untuk diperlakukan sama dengan daerah-daerah lain dalam bingkai NKRI.
Penempatan personil polisi, jaksa dan hakim di NTT haruslah didasari pada semangat untuk mengabdi dan melayani tanpa membeda-bedakan orang atau daerah oleh karena NTT adalah merupakan satu kesatuan wilayah Republik Indonesia yang harus mendapat distribusi personil berkualitas dibidang hukum, ekonomi, politik dan sosial yang sama dan setara dengan Provinsi yang lain, karena itu tidak boleh ada lagi diskriminasi dalam penempatan personil terlebih-lebih personil dengan tabiat tercela/bermasalah di NTT.
KAKPH untuk Keadilan ini juga mendesak Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten agar dengan semangat otonomi daerah, segera  merancang dan memfungsikan perangkat hukum berupa Perda yang memberi wewenang kepada Gubernur/Bupati bersama DPRD  untuk melakukan fit and proper test bagi setiap pejabat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim yang ditempatkan di NTT guna mengetahui rekam jejaknya ditempat lain sebelumnya. Bagi yang tidak memenuhi kualifikasi dan harapan publik maka daerah berhak menolak calon pejabat yang bersangkutan untuk diganti dengan calon pejabat yang lebih berkualitas dan berkarakter membangun dan mengabdi demi pengembangan hukum dan persamaan hak sebagai warga Negara dan warga bangsa ini.
Demikian harapan dan catatan kritis dari para Advokat NTT di Jakarta yang bergabung dalam KAKPH untuk Keadilan demi perbaikan NTT dimasa yang akan datang.
By. CHE

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.