Suka Duka Koran Suara Timor Timur


sergapntt.com –  Satu-satunya koran yang masih beroperasi di Timor Leste sejak Indonesia masih menduduki Timor Leste adalah Suara Timor Timur (STT). Namun media yang dikenal kritis itu sempat mati “dibunuh” para milisi bersenjata bentukan TNI. Perangkat komputer, mesin faksimili, pesawat telepon dan peralatan kerja redaksi lainnya diluluh-lantakkan. Berikut kisah singkatnya:  
        Harian Umum STT terbit pertama kali 1 Pebruari 1993, bertepatan dengan pengadilan terhadap Xanana Gusmao.  Ketika itu manajemen STT diambil alih oleh Kelompok  Kompas Gramedia (KKG) melalui Persda.  Tiras STT ketika itu adalah 10
ribu, namun sebagian besar dibagi secara gratis kepada masyarakat di kota Dili,
sebagai nomor perkenalan.
        Setelah nomor perkenalan beredar, berbagai sambutan yang intinya
adalah mendukung kehadiran STT di Timtim mulai mengalir. Uskup Belo menyam-
paikan pesannya bahwa kehadiran STT sangat dibutuhkan untuk menyuarakan
kepentingan kalangan masyarakat bawah. Selain itu kehadiran STT juga
memberikan informasi, dan ikut mengawasi serta menjadi kontrol sosial yang
baik. Selain Uskup Belo,  Komandan Korem 164/WD, waktu itu, Kolonel Johny
Lumintang, Gubernur Abilio dan Kapolda Timtim Kolonel Nugroho Djajoesman saat itu juga memberikan sambutan yang positif terhadap kehadiran STT.
        Namun sambutan positif itu hanya sesaat, karena seiring dengan perjalanan zaman, kehadiran STT mulai tidak mendapat tempat di hati pemerintah daerah serta aparat keamanan. Buntutnya adalah adanya pembatalan langganan STT oleh Pemda setempat serta dipanggilnya beberapa wartawan STT ke Korem, salah satunya adalah Irawan Saptono. Puncak dari kemarahan aparat pemerintah saat itu adalah pembakaran mobil STT serta pengrusakan kantor STT yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila pada tahun 1995. Namun kerusakannya tidak separah seperti sekarang. Dalam pengrusakan kantor STT, anggota Pemuda Pancasila juga menganiaya seorang wartawan STT yang juga koresponden The
Jakarta Post (Yakob Herin), sehingga mengakibatkan yang bersangkutan harus mengungsi ke luar dari Timtim karena terus diburu oleh aparat keamanan di Dili. Sementara pihak pemerintah dan aparat keamanan tidak menerima kehadiran STT, sebaliknya Gereja  Timtim melalui Uskup Belo menyambut baik pemberitaan-pemberitaan yang menurutnya ikut menyuarakan kepentingan masyarakat miskin.
        Selain itu, ada beberapa perubahan mencolok dalam tubuh STT, yaitu hengkangnya beberapa wartawan senior membuat harian itu mulai lemah dalam pemberitaan serta penyajian berita. Berbarengan dengan perubahan itu, kritik masyarakat pun mulai terasa, sehingga manajemen perusahaan mulai mengubah pola pemberitaannya yang selama 3 tahun pertama lebih banyak menyuarakan kepentingan kalangan atas, diubah menjadi koran investigasi. Perubahaan pola itu semakin menciptakan permusuhan antara pemerintah/pihak keamanan dengan wartawan STT.
Teror dan intimidasi sepertinya menjadi sarapan sehari-hari bagi wartawan STT, baik ketika meliput di lapangan maupun sesudah di kantor.  Teror dan intimidasi itu kemudian terbukti ketika seorang wartawan STT yang juga koresponden Majalah Tiras, Gaudensius Mau dianiaya oleh sekelompok orang yang tak dikenal. Akibat penganiayaan itu Gandensius Mau menderita gegar otak dan harus dirawat secara tradisional.
        Pada 1997, tiras STT yang tadinya 3800 harus dikurangi menjadi 1.800 karena menurunnya minat baca masyarakat terhadap koran tersebut. Dengan besarnya
biaya produksi dan STT sendiri tidak sanggup membayar gaji karyawan yang
berjumlah 50 orang, manajemen STT mengambil keputusan meerampingkan
karyawannya. Beberapa karyawan yang dianggap tidak produktif di PHK
sehingga total karyawan antara lain, redaksi 23 orang, iklan 5 orang, keuangan 4 orang, bagian umum 3 orang, setting dan lay out yang dulunya 3 orang dikurangi menjadi 2 orang,
percetakan 5 orang dan sirkulasi 2 orang. Jumlah total karyawan STT saat ini adalah 44 orang, tidak termasuk Pemimpin Umum/Pemimpin Pedaksi dam pimpinan perusahaan. Sedangkan karyawan yang di PHK adalah 6 orang.
        Dalam 1997/1998 beberapa telepon yang yang nadanya teror terhadap STT, sering terjadi. Bahkan menurut pemimpin perusahaan, Domingos Saldanha, dirinya pernah dipanggil oleh Gubernur Abilio dan memperingatkan dia bahwa secepatnya STT memecat dua wartawan STT masing-masing Aderito Hugo da Costa dan Metha Guterres, dengan alasan bahwa kedua wartawan itu tidak bisa diajak bekerja sama dengan pemerintah. Selain itu kedua wartawan itu, kata Abilio, sering memuat berita-berita yang dikutip oleh kantor-kantor berita asing tentang kelaparan, penganiayaan terhadap masyarakat serta kasus-kasus kolusi Abilio dengan keluarga Cendana.
        “Kalau ingin Pemda berlangganan STT dan kita mau damai, STT harus pecat dua wartawan itu. Mereka berdua ingin menjadi wartawan idealis, susahlah kalau di Timtim,” kata Domingos mengutip pernyataan Abilio ketika itu. Namun dihadapan Abilio, Domingos menolak untuk memecat kedua wartawan tersebut dengan alasan bahwa STT masih membutuhkan kedua wartawan itu.
        Karena merasa STT sudah tidak diajak berkompromi dengan Pemda, Abilio dengan dukungan Pangab Wiranto menerbitkan harian baru yaitu Novas. Penerbitan harian itu target utamanya adalah untuk mematikan STT. Tapi usaha untuk mematikan STT hanya sia-sia, karena semakin hari STT mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat termasuk Falintil.
        Ketika Indonesia dilanda krisis moneter, yang mengakibatkan beberapa koran-koran besar melakukan penghematan serta pengurangan halaman dan penurunan tiras, justru sebaliknya STT dari oplah 1.800 mulai menanjak menjadi 3.800. Pada bulan Nopember-Desember 1998, tiras sudah berada pada level 4.800. Awal Januari 1999, tiras STT naik lagi menjadi 5000.  Dan bulan Pebruari-Maret oplahnya naik menjadi 6 ribu. Ketika terjadi pengrusakan kantor, oplah  STT sudah mencapai 8 ribu.       
        Pada 17 Agusrus 1998, STT merasa perlu mengoreksi diri dan mengubah citra dirinya yang oleh sebagaian masyarakat dikenal “dekat” dengan birokrasi menjadi lebih dekat pada rakyat. Motto yang tadinya “Suara Persatuan dan Pembangunan” diubah menjadi “Menyuarakan Keadilan dan Kebenaran”. Motto ini barangkali sejalan dengan keinginan Uskup Belo yang disampaikan dalam buku peringatan ulang tahun pertama STT.          
Berikut Kronologi pengrusakan kantor STT:
Tanggal 6 April 1999 Terjadi penyerangan milisi Besi Merah Putih (BMP) terhadap kelompok pro kemerdekaan serta warga masyarakat di Liquisa. Dua wartawan STT dikirim untuk meliput masing-masing Joao Barreto dan Lourenco Martins.
Tanggal 7 April STT tampil dengan Headline: Liquisa rusuh, 2 tewas dan 8 rumah dibakar oleh BMP. Selain itu STT juga memberitakan bahwa selain menyerang kelompok pro kemerdekaan BMP juga melakukan penjarahaan terhadap warga di Liquisa.
Tanggal 8 April STT memberitakan bahwa terjadi aksi penyerangan kelompok Besi Merah Putih di rumah Pastor Paroki  Liquisa yang mengakibatkan 25 orang meninggal dunia. Sedangkan Danrem Timtim membantah bahwa telah terjadi aksi pembantaian, dan yang benar adalah 5 orang yang tewas.  
Tanggal 9 April Uskup bersama Danrem, Kapolda bersama Kontras dan Komisi Justice e Paz Diosis Dili mengunjungi rumah Pastor Paroki Liquisa. Dalam kunjungan itu 2 orang wartawan STT juga ditugaskan untuk meliput peninjauan itu.
Tanggal  10 April STT menurunkan testimoni dari Pastor  Rafael yang mengatakan bahwa telah terjadi pembantaian dirumah Pastor yakni 25 tewas, serta uang 8 juta milik pastoran telah dijarah oleh kelompok BMP. Pastor Rafael juga mengatakan bahwa dalam penyerangan di kediaman pastor, kelompok BMP bekerja sama dengan aparat keamanan seperti Brimob, polisi dan tentara.
Selain testimoni dari Pastor, STT juga mewawancari seorang saksi mata yang namanya dirahasiakan. Dalam kesaksiannya dia mengatakan bahwa selain membunuh orang-orang yang diduga membantu gerakan pro kemerdekaan, kelompok BMP juga memperkosa beberapa perempuan di Liquisa.  Berkaitan dengan pemberitaan STT, kelompok BMP mulai
melakukan teror terhadap wartawan STT. Dan ketika dua orang fotografer dari Kantor Berita Reuters mengunjungi Liquisa, kelompok BMP menyanyakan apakah ada wartawan STT ikut atau tidak. “Mereka mengatakan kalau ada wartawan STT mereka akan membunuhnya,” kata wartawan Reuters itu mengutip ancaman kelompok BMP.
Tanggal 11 April: Ketika Uskup Belo kembali mengunjungi Liquisa untuk memimpin misa bagi arwah orang-orang yang dibunuh oleh kelompok BMP itu. STT juga mesertakan tiga wartawannnya yaitu Metha Guterres, Lourenco Martins dan Suzana Cardoso.  Selain ketiga wartawan STT  itu, bersamaan dengan Uskup Belo, juga ada beberapa wartawan asing sekitar 20 orang dengan menumpang 10 mobil carteran. Ketika Uskup belo berkhotbah, kelompok BMP itu mulai meneror wartawan yang dengan mengatakan: “Wartawan STT hati-hati, kalau kami dapat kami akan membunuhnya. Kehadiran wartawan STT itu yang selalu menganggu
masyarakat, dan harus kami singkirkan.”
Ketika selesai misa rombongan Uskup bersama dengan wartawan dikawal oleh sebuah
patroli polisi untuk kembali ke Dili. Namun dengan pertimbangan keselamatan wartawan, akhirnya diputuskan bahwa wartawan jangan menumpang mobil-mobil carteran, tapi sebaiknya menumpang mobil–mobil pastor, dan mobil komisi keadilan. Akhirnya wartawan naik mobil rombongan Uskup Belo, sedangkan mobil carteran ditumpangi sebagian wartawan. Ketika rombongan Uskup Belo hendak melewati Kota Liquisa, kelompok BMP itu mencegat mobil-mobil yang dicurigai membawa wartawan, dan buntutnya adalah pelemparan yang mengakibatkan 3 mobil carteran rusak, dan seorang sopir taxi harus dilarikan ke rumah sakit karena kepalanya bocor dan mendapat 7 jahitan di kepalanya.
Tanggal 12 April: BMP Mulai memasuki Kota Dili, khususnya Dili Barat Desa Comoro. Dua orang loper STT yang berjualan di Terminal Tasi Tolu, dirampas korannya lalu dibakar. Bersamaan dengan perampasan koran STT, kelompok BMP juga menitipkan pesan kepada kedua loper untuk disampaikan kepada wartawan STT bahwa mereka harus hati-hati dan tunggu saatnya penyerangan terhadap kantor STT.
Tanggal 13 April sekitar 8 orang yang tak dikenal mendatangi Redaksi STT untuk mencari wartawan Metha Guterres. Namun petugas bagian piket menjawab bahwa Metha tidak berada di tempat.
Tanggal 14 April: Ke-8 orang kembali mendatangi redaksi dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu tetap ingin bertemu dengan wartawan Metha Guterres, sedangkan wartawan lain mereka tolak dengan alasan yang tidak jelas.
Sedangkan pada malam harinya sekitar pukul 24.00 WITA, redaksi STT menerima telepon gelap. Si penelpon gelap itu menyanyakan apakah masih ada wartawan STT atau tidak. Namun petugas STT menjawab bahwa wartawan STT sudah pulang semuanya. Mendengar jawaban itu si penelepon lalu mengatakan bahwa dirinya bersama rekan-rekan akan
mendatangi redaksi STT.
Tanggal 15 April: Melihat kondisi dan keselamatan wartawan STT semakin tidak terjamin, Pimpinan Perusahaan berinisiatif mempertemukan wartawan STT dengan Wakil Panglima Perang Pro-otonomi yang juga Komandan Aitarak, Eurico Guterres. Dalam pertemuan itu Eurico mengatakan bahwa dirinya bersama kelompok milisi pro- otonomi yang lain akan tetap menjamin keselamatan wartawan STT. Bahkan Eurico dengan keyakinannya mengatakan bahwa STT tidak akan diapa-apakan.
Tanggal 16 April kembali ke-8 orang yang tak dikenal itu mendatangi redaksi STT dengan mncari wartawan yang sama.
Tanggal 17 April: Diadakan pengukuhan milisi Aitarak di depan kantor Gubernur. Hadir dalam pengukuhan itu antara lain Gubernur Timtim, Danrem, Kapolda dan semua pejabat baik sipil maupun militer. Sekitar pukul 09.00 WITA 8 orang asing mendatangi redaksi STT dengan menyanyakan keberadaan wartawan STT Metha Guterres. Pukul 11.00 Wita, beredar kabar bahwa STT akan diserang oleh kelompok BMP sehingga 2 wartawan STT setelah bersepakat dengan rekan-rekan wartawan lain memutuskan untuk meninggalkan Timtim dengan menumpangi Merpati tujuan Denpasar.
Namun pada pukul 12.00 sebelum Merparti take off terdengar kabar bahwa kantor STT sudah diobrak-abrik oleh kelompok BMP dengan dipimpin Joao Tavares. Selain kantor STT, target para milisi adalah kantor CNRT, Kediaman Manuel Carrascalao dan kantor Yayasan HAK. Pada malam harinya terjadi bentrokan antara milisi pro-otonomi dengan kelompok pro-kemerdekaan yang menewaskan beberapa orang.
Bahkan penyerangan hingga pengrusakan kantor STT merupakan bagian dari skenario aparat keamanan. Saat terjadi perusakan kantor STT, aparat kepolisian memberi respon sekadarnya saja. Aparat bergerak mendatangi TKP saat kantor STT telah hancur.
by. el che/redaksi stt/usaid

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.